Powered by Blogger.
RSS

Dua Ekor Kupu-Kupu, pada Padang Pengembaraan yang ke Seribu

Dua ekor kupu-kupu bertemu
pada padang pengembaraan mereka yang ke seribu.
Lelah, dengan sayap-sayap yang tak lagi sempurna.
Beberapa sobekan kecil telah menghiasinya,
yang dulu membentang indah dan sempurna.
Rangka sayap yang mulai merapuh adalah pertanda,
sayap itu telah membawa mereka terbang,
mengepak perlahan,
mengarungi ruang dan waktu,
beribu rona dan warna,
cahaya matahari yang bersinar,
atau hujan dan badai yang memaksa mereka berhenti sejenak.

Kupu-kupu pertama adalah kupu-kupu bersayap hitam dengan bintik-bintik cokelat dan kuning gading, sedangkan kupu-kupu kedua adalah kupu-kupu dengan warna sayap cokelat muda dan bintik kuning.

Hinggap di rumpun ilalang yang sama, keduanya mulai saling bercerita tentang perjalanan mereka.

Kupu-kupu bersayap hitam adalah yang pertama bercerita. Kisahnya ia adalah kupu-kupu yang sebatang kara sejak pertama kali menyibak bungkus kepompongnya. Ia jarang menemui kupu-kupu sesamanya. Yang ia temui justru binatang-binatang lain yang berbeda jenisnya, belalang, kumbang, capung, tupai, kelinci, tak satu pun yang satu fikiran dengannya.

Ia tumbuh menjadi kupu-kupu yang individualistis, hanya memikirkan diri sendiri. Berjuang untuk mempertahankan hidup, berjuang untuk dapat makan. Ia tak mudah percaya pada kupu-kupu lain. Sendirian sejak lahir, ia belajar untuk percaya pada dirinya sendiri. Ia mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya, membiarkan tubuh dan sayapnya menyesuaikan diri dengan keadaan. Dalam kesendirian itu, ia jadikan alam sebagai sahabat yang paling dekat, serta pemandunya.


Lalu, giliran kupu-kupu bersayap cokelat muda yang bercerita,


"Sejauh yang kuingat,"kata kupu-kupu dengan sayap cokelat muda,"aku lahir di sebuah keluarga kupu-kupu yang bahagia. Kami tinggal di sebuah kebun bunga milik seorang petani. Setiap hari kami menikmati nektar manis dari berbagai bunga yang macam-macam warnanya. Segalanya begitu sempurna. Matahari senantiasa bersinar cerah berpadu dengan angin yang bertiupan diantara kepakan sayap kami."


"Suatu hari,"kupu-kupu bersayap cokelat muda melanjutkan ceritanya,"datanglah kupu-kupu bersayap kelabu dari tempat lain. Ia datang bermain-main ke kebun bunga kami. Kupu-kupu bersayap kelabu mengajakku ikut bersamanya, mengembara ke berbagai tempat di luar kebun bunga kami. Aku, kupu-kupu yang sepanjang hidupnya hanya melihat semak-semak hijau yang menumbuhkan bunga beraneka warna begitu tergiur dengan ajakan itu. Benakku bertanya-tanya, ada warna apa lagikah gerangan di luar sana? Tuhan yang Maha Hebat tak mungkin hanya menciptakan warna merah, kuning, hijau, dengan berbagai macam turunannya yang banyak kutemukan di kebun bunga kami. Aku ingin melihat warna-warna lain, bunga-bunga lain, nektar-nektar dengan rasa lain di luar sana. Aku ingin merasakan hidup di luar kebun bunga ini."


"Maka kuturuti pun ajakannya. Tak kuhiraukan teriakan Ayah dan Ibu yang menyuruhku untuk tetap tinggal di kebun bunga kami. Rasa ingin tahu telah mengalahkan kepatuhanku. Aku pergi mengembara bersama kupu-kupu bersayap kelabu."


"Kebun bunga yang tiap hari ada dalam pandangan mataku pun berganti dengan ribuan tempat yang asing, lembah, pegunungan, padang rumput, hingga jurang pun menjadi persinggahanku. Aku bertemu dengan ratusan kupu-kupu lain, namun tak pernah kutemukan yang serupa dengan keluargaku. Aku melihat berbagai macam warna, tak cuma yang cerah, namun juga yang kelabu hingga gelap. Berbagai rasa nektar akhirnya pun kurasakan, dari yang paling manis hingga yang paling pahit. Terbang di bawah cahaya matahari maupun rintik hujan dan tiupan angin badai pun pernah kurasakan. Aku, seekor kupu-kubu kebun bunga yang memilih menjadi kupu-kupu pengembara."


"Namun kini aku menyesal,"kata kupu-kupu cokelat muda sambil mengakhiri ceritanya,"aku salah, seharusnya dulu aku tetap tinggal di kebun bunga tempatku dilahirkan dan tidak pergi kemana pun. Bukan hanya aku yang salah, kau pun salah, Hitam. Seumur hidupmu tak kau biarkan seekor kupu-kupu pun menjadi temanmu. Kau hanya peduli pada dirimu sendiri."

"Lihatlah kita,"lanjutnya,"tak lagi secermelang saat pertama kali kita dilahirkan. Warna kita telah pudar, sayap-sayap kita sedikit demi sedikit terkoyak dimakan alam, sisik-sisiknya berjatuhan, dan rangkanya telah merapuh kelelahan. Kita telah menanggung beban yang seharusnya tak kita tanggung, wahai Hitam, karena pilihan hidup yang salah."

"Kau lihat sepasang kupu-kupu yang berterbangan kian kemari itu?"tunjuk kupu-kupu cokelat muda pada sepasang kupu-kupu bersayap kuning muda di ilalang seberang,"kau lihat mereka sebaya dengan kita, tapi mereka masih begitu eloknya. Kau tahu kenapa? sebab mereka tak pernah pergi dari rumah mereka, padang ilalang ini. Sejak lahir mereka di sini, senantiasa bersama-sama keluarga dan teman-teman yang menyayangi dan peduli pada mereka. Mereka pasangan yang begitu cantik dan serasi. Jika dibandingkan dengan mereka, kita hanyalah sepasang kupu-kupu bersayap rusak yang menyedihkan dan terbuang!"


Kupu-kupu bersayap hitam akhirnya angkat bicara. Ia lega, karena sejak tadi kupu-kupu bersayap cokelat muda tak henti bicara begitu panjangnya.

"Kau benar soal kesalahanku. Aku memanglah kupu-kupu frustasi yang senang menyendiri, mabuk oleh buaian alam. Tak pernah peduli pada sesamaku. Oleh karena itu, saat ini aku mengajakmu, mengarungi dunia bersamaku. Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang kita buat. Biarlah kita tak seindah sepasang kupu-kupu kuning muda itu. Ya, aku akui mereka memang sempurna kelihatannya. Namun, tahukah kau, Cokelat? perjalanan  yang kita arungi telah memberikan kita harta yang tak ternilai harganya. Begitu banyak pengalaman dan pelajaran. Berbanggalah, sekalipun kita mungkin telah berbuat kesalahan, namun kita telah berani keluar dari rumah kita yang nyaman. Pandangan kita menjadi luas, hati dan fikiran kita terbuka terhadap perbedaan, kita semakin mengetahui baik-buruk, benar-salah, konsekuensi dari setiap pilihan. Kita tak mudah menghakimi sesuatu, karena kita pernah berada pada semua sisi kehidupan."


"Kau benar,"lanjut kupu-kupu hitam,"sayap kita memang tak lagi elok, warnanya telah memudar dan rangkanya telah merapuh, tapi tidakkah kau lihat dari sisi lain ia juga menguat? Sayap yang telah membawa kita mengarungi dunia. Terlatih melawan hujan badai dan terik matahari. Aku tak menjamin sepasang kupu-kupu yang tak pernah kemana-mana itu memilikinya?"


"Oleh karena itu,"ia menyenggol sayap kupu-kupu cokelat dengan sungutnya,"marilah kita melanjutkan perjalanan kita bersama-sama, kau dan aku. Masing-masing dari kita memang bukan kupu-kupu yang indah dengan perjalanan hidup yang sempurna, namun bukan hal itu yang dibutuhkan untuk menjadi pasangan kupu-kupu yang terbaik...."

"Baiklah,"kata kupu-kupu cokelat muda seraya tersenyum manis.


Sepasang kupu-kupu dengan sayap yang tak lagi sempurna itu pun memulai pengembaraannya kembali.
Bersama-sama.



Pontianak, 4 Februari 2014, 
VarLa Dhewiyanty





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Post a Comment

Silakan berikan komentar Anda mengenai postingan ini, terima kasih :)

Silakan mengisi buku tamu :)