Powered by Blogger.
RSS

Semesta Kita


Dimensi paralel. Semesta alternatif. Pernahkah kau mendengar istilah semacam itu?
Orang-orang berkata, dunia yang kita jalani saat ini bukan satu-satunya dunia yang ada. Terdapat dunia lain yang berisikan orang-orang yang sama namun dengan kisah dan jalan hidup berbeda. Aku tak tahu apakah itu benar ataukah itu hanya sebuah cara manusia untuk membuat harapan palsu atas ketidakberhasilan hidupnya. Aku sungguh tak tahu. Namun, saat aku menatap matamu hari itu, aku mulai berpikir dengan hal-hal yang dikatakan orang tersebut. Benarkah ‘kita yang lain’ punya jalan hidup yang berbeda dengan ‘kita yang ini’ Vey?
Tentu kau ingat masa dua puluh tahun yang lalu ketika kita duduk bersama di sebuah kedai kopi. Tidak bersebelahan seperti pasangan-pasangan lain yang ada di kedai kopi itu saat itu, namun hanya berhadapan. Tetapi aku sangat senang sekali, Vey, kamu mau datang memenuhi undanganku untuk minum bersama.
Ah, tak sekedar minum bersama sebenarnya. Aku berharap lebih dari itu. Aku berharap kau melakukan sebuah hal yang sangat besar. Hal itu adalah merubah keputusanmu.
Setelah setengah jam mengaduk-aduk gula di teh-mu yang sebenarnya telah larut sejak tadi -sementara aku terus menatapmu tak bergeming- kau akhirnya mulai bicara,”Kau gila,” dua kata yang keluar dari bibirmu.
Aku bingung mau bereaksi bagaimana, Vey.
“Kau gila, Wan. Kamu gila… dan juga bodoh,” katamu lagi.

“Vey, tatap mataku dan katakan tidak sedikit pun kamu mencintaiku. Aku akan pergi sekarang juga dan bersumpah tidak akan pernah mengganggumu lagi. Percayalah aku akan lakukan jika itu yang benar-benar kau inginkan.”
Kau menatapku tajam seolah marah dengan ucapanku, setelah itu bibirmu bergetar dank au mulai menangis,”Ke-kenapa baru sekarang… Kenapa tidak sejak dulu kau lakukan ini, Wan,” dan kau menutup wajah dengan kedua tanganmu.
Aku menunduk dalam. Ya, kenapa tidak sejak dulu. Tidak sejak Vey pertama kali menunjukkan dukungan dan kemudian rasa sukanya padaku. Apa aku pantas menjadikan Dian sebagai alasan? Dian perempuan yang pernah menjadi tujuan hidupku. Perempuan yang menjadi semangatku menyelesaikan studi S-2 demi meraih pekerjaan sebagai dosen di sebuah kampus di kota ini. Namun menjelang selesainya studiku, Dian memutuskan untuk tidak menghabiskan sisa hidupnya bersamaku. Melainkan dengan seorang pengusaha muda yang dianggap mampu memenuhi kebutuhan materinya yang berlebihan.
Aku ingat masa-masa kacau itu. Kebodohanku hanya karena seorang perempuan sehingga aku tidak lagi mengejar cita-citaku. Aku merasa kehilangan tujuan hidup dan aku merasa sebagai laki-laki yang tak berguna. Masa-masa itu adalah masa-masa dimana aku menganggur dan tidak melakukan apapun. Saat itu, sebagai teman Vey hadir untuk memberi dukungan padaku. Aku ingat kami bisa menghabiskan seharian duduk-duduk di kedai kopi sambil hotspotan dan membicarkan banyak hal. Mulanya hanya candaan-candaan konyol dan tak penting hingga kami mulai membicarakan hidup. Mau dibawa kemana hidup kita. Apa yang seharusnya kita lakukan di hidup ini dan sebagainya. Kami berdiskusi tentang banyak hal yang mengasah pemikiran dan kepekaan kami.
Lama-kelamaan aku sadar bahwa Vey menyukaiku. Awalnya aku membiarkan saja Vey seperti itu. Namun ketika ia mulai mempertanyakan padaku mengapa kehadiran dan perhatiannya tak dapat memberikan pengaruh yang dalam pada perasaanku, aku pun terpaksa mengatakan kepadanya bahwa aku tak akan sanggup memenuhi harapan apapun yang ia bebankan kepadaku. Sosok Dian masih melekat erat pada kenangan terdalam yang menjadi luka batinku. Sejak saat itu hubungan kami pun mulai menjauh.
Justru ketika ia menghilang aku mulai menyadari bahwa aku telah mengusir seseorang yang sangat baik dari hidupku. Vey mungkin bukan seorang Dian yang selama ini kujadikan tujuan dan pegangan hidup, tetapi perasaannya benar-benar murni terhadapku.
“Kau terlambat, tanggal pernikahan sudah ditetapkan dan undangan telah disebar.”
“Maafkan keterlambatanku menyadari ketulusanmu, Vey. Tetapi kau masih bisa membatalkannya, Vey, kau masih bisa merubah jalan hidupmu. Sebelum itu terjadi.”
“Dan menyakiti hati seorang manusia? Itu kejam, Wan.”
“Apa kau rela mengorbankan perasaanmu untuk bersama dengan orang yang tidak kau cintai, Vey? Apa kau tega membohongi semua orang?”
Kau terdiam, kembali menatapku dalam dengan sisa-sia air mata yang berjatuhan. Kuraih kedua tanganmu,”Hiduplah bersamaku, Vey. Aku mencintaimu. Mencintai semua yang ada pada dirimu. Ketulusan dan kemurnian hatimu yang aku butuhkan untuk menjadi pendampingku, untuk menjadi ibu dari anak-anakku. Tahun-tahun berikutnya kita akan menyaksikan anak-anak kita tumbuh besar. Mereka akan memanggil Ayah dan Ibu pada kita. Mereka akan selalu berbahagia melihat ayah dan ibunya saling mencintai,Vey….”
Dan saat kugenggam tanganmu waktu itu,Vey –jika semesta alternatif itu benar-benar ada- maka mungkin pada saat itulah pergolakannya mulai bekerja. Ibarat aliran air yang bergerak ke arah yang berbeda-beda. Menarikku. Menarikmu. Memainkan kita dalam pusarannya. Lalu pada semesta yang satu ini kita bertemu dalam keadaan seperti ini, Vey. Di sebuah pusat perbelanjaan.
Sungguh sulit kupercaya bagaimana waktu merubah diri kita, Vey. Matamu masih sama dengan mata gadis yang meneteskan air mata di hadapanku dua puluh tahun lalu, namun air wajahmu sepenuhnya telah berubah. Aku tak mengatakan kau telah jauh bertambah tua, Vey, karena aku pun begitu. Ditambah lagi kau pun pasti telah melihat perutku yang juga telah sangat berkembang alias buncit ini. Itukah alasannya kau tersenyum-senyum sejak tadi sambil sesekali melirik perutku, Vey? Dan rambut kita, telah sama-sama bertumbuh uban putih rupanya.
Wajahmu kini adalah wajah seorang wanita paruh baya yang hampir kenyang makan asam garam kehidupan. Wajahmu sangat keibuan dan ketulusanmu pun tak hilang memancar dari situ. Kalau boleh kukatakan wajah gadis di sebelahmu itu lebih mirip kau yang dulu.
“Nayala, ini Om Awan, sahabat Mama waktu muda dulu,” kau tersenyum, bahkan kerutan yang menghiasi bagian bawah bibirmu itu tak sedikitpun merusak ketulusan senyummu.
“Oh, halo, Om,” putrimu yang bernama Nayala itu pun meraih tanganku dan mendaratkan keningnya di punggung tanganku.
“Dan ini tentu putramu, begitu mirip ayahnya, ya?” Kau menoleh pada pemuda tanggung di sebelahku.
“Ya, ini Fino, baru kelas tiga SMP. Hari ini dia minta ditemani membeli sepatu untuk bermain basket katanya…,” aku tertawa kecil,”Ayahnya Nayala baik?”
“Baik, tapi sedang di lantai atas, memilih-milih sarung di stand pakaian. Istrimu baik juga, kan?”
“Ya, sangat baik, terima kasih” jawabku.
Kemudian kita pun saling berpamitan. Kau dan putrimu akan menyusul suamimu di lantai atas katamu. Aku pun mengangguk mengatakan bahwa kami akan segera pulang.
“Baiklah, sampai bertemu lagi. Salam buat istrimu ya, Wan,” kau tersenyum dan begitulah kata-kata terakhirmu sebelum kau dan putrimu berlalu.
Pernahkah kau membayangkan apa yang akan terjadi hari ini jika dua puluh tahun lalu kau memutuskan untuk membatalkan pernikahanmu dan hidup bersamaku, Vey? Mungkinkah saat ini kita sekeluarga sedang berbelanja bersama dengan putra-putri kita, Vey? Aku tertawa kecil, memang tidak ada gunanya membayangkan semua itu, Vey. Jikalau semesta alternatif, dunia paralel, atau apalah itu namanya benar-benar ada, biarlah diri kita yang di dalamnya saja yang menjalani dan memikirkannya.
Dan untuk di dunia ini cukuplah aku tahu bahwa kau telah berbahagia dengan keluargamu, seorang suami, dan seorang putri yang wajahnya setulus wajahmu. Aku pun berbahagia bersama Fino, anak yang kuangkat dari panti asuhan bersama istriku bertahun-tahun yang lalu sebelum ia meninggal. Ya, Vey, kami tidak dikaruniai anak, namun kehadiran Fino ini telah menjadikan hidup kami lebih berarti dari sebelumnya.
Di semesta yang lain, mungkin saja kita bersama Vey. Atau mungkin juga kita tetap tidak bersama. Semua itu adalah misteri. Namun kita memang harus selalu mensyukuri hidup yang kita miliki, karena Tuhan selalu lebih mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Bagaimana menurutmu, Vey?
(Kubu Raya, 22 Januari 2015, setelah sidang skripsi)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

1 komentar:

alrisjualan said...

Wah mantap psotingnya.
Salam
http://alrisblog.wordpress.com

Post a Comment

Silakan berikan komentar Anda mengenai postingan ini, terima kasih :)

Silakan mengisi buku tamu :)