Orang-orang berkata, dunia yang kita jalani saat ini
bukan satu-satunya dunia yang ada. Terdapat dunia lain yang berisikan
orang-orang yang sama namun dengan kisah dan jalan hidup berbeda. Aku tak tahu
apakah itu benar ataukah itu hanya sebuah cara manusia untuk membuat harapan
palsu atas ketidakberhasilan hidupnya. Aku sungguh tak tahu. Namun, saat aku
menatap matamu hari itu, aku mulai berpikir dengan hal-hal yang dikatakan orang
tersebut. Benarkah ‘kita yang lain’ punya jalan hidup yang berbeda dengan ‘kita
yang ini’ Vey?
Tentu kau ingat masa dua puluh tahun yang lalu ketika
kita duduk bersama di sebuah kedai kopi. Tidak bersebelahan seperti
pasangan-pasangan lain yang ada di kedai kopi itu saat itu, namun hanya
berhadapan. Tetapi aku sangat senang sekali, Vey, kamu mau datang memenuhi
undanganku untuk minum bersama.
Ah, tak sekedar minum bersama sebenarnya. Aku
berharap lebih dari itu. Aku berharap kau melakukan sebuah hal yang sangat
besar. Hal itu adalah merubah keputusanmu.
Setelah setengah jam mengaduk-aduk gula di teh-mu
yang sebenarnya telah larut sejak tadi -sementara aku terus menatapmu tak
bergeming- kau akhirnya mulai bicara,”Kau gila,” dua kata yang keluar dari
bibirmu.
Aku bingung mau bereaksi bagaimana, Vey.
“Kau gila, Wan. Kamu gila… dan juga bodoh,” katamu
lagi.
“Vey, tatap mataku dan katakan tidak sedikit pun
kamu mencintaiku. Aku akan pergi sekarang juga dan bersumpah tidak akan pernah
mengganggumu lagi. Percayalah aku akan lakukan jika itu yang benar-benar kau
inginkan.”
Kau menatapku tajam seolah marah dengan ucapanku,
setelah itu bibirmu bergetar dank au mulai menangis,”Ke-kenapa baru sekarang…
Kenapa tidak sejak dulu kau lakukan ini, Wan,” dan kau menutup wajah dengan
kedua tanganmu.
Aku menunduk dalam. Ya, kenapa tidak sejak dulu.
Tidak sejak Vey pertama kali menunjukkan dukungan dan kemudian rasa sukanya
padaku. Apa aku pantas menjadikan Dian sebagai alasan? Dian perempuan yang
pernah menjadi tujuan hidupku. Perempuan yang menjadi semangatku menyelesaikan
studi S-2 demi meraih pekerjaan sebagai dosen di sebuah kampus di kota ini.
Namun menjelang selesainya studiku, Dian memutuskan untuk tidak menghabiskan
sisa hidupnya bersamaku. Melainkan dengan seorang pengusaha muda yang dianggap
mampu memenuhi kebutuhan materinya yang berlebihan.
Aku ingat masa-masa kacau itu. Kebodohanku hanya karena seorang perempuan sehingga aku tidak lagi mengejar cita-citaku.
Aku merasa kehilangan tujuan hidup dan aku merasa sebagai laki-laki yang tak
berguna. Masa-masa itu adalah masa-masa dimana aku menganggur dan tidak
melakukan apapun. Saat itu, sebagai teman Vey hadir untuk memberi dukungan
padaku. Aku ingat kami bisa menghabiskan seharian duduk-duduk di kedai kopi
sambil hotspotan dan membicarkan banyak hal. Mulanya hanya candaan-candaan
konyol dan tak penting hingga kami mulai membicarakan hidup. Mau dibawa kemana
hidup kita. Apa yang seharusnya kita lakukan di hidup ini dan sebagainya. Kami
berdiskusi tentang banyak hal yang mengasah pemikiran dan kepekaan kami.
Lama-kelamaan aku sadar bahwa Vey menyukaiku.
Awalnya aku membiarkan saja Vey seperti itu. Namun ketika ia mulai mempertanyakan
padaku mengapa kehadiran dan perhatiannya tak dapat memberikan pengaruh yang
dalam pada perasaanku, aku pun terpaksa mengatakan kepadanya bahwa aku tak akan sanggup memenuhi harapan apapun yang ia bebankan kepadaku. Sosok Dian masih
melekat erat pada kenangan terdalam yang menjadi luka batinku. Sejak saat itu
hubungan kami pun mulai menjauh.
Justru ketika ia menghilang aku mulai menyadari
bahwa aku telah mengusir seseorang yang sangat baik dari hidupku. Vey mungkin
bukan seorang Dian yang selama ini kujadikan tujuan dan pegangan hidup, tetapi
perasaannya benar-benar murni terhadapku.
“Kau terlambat, tanggal pernikahan sudah ditetapkan
dan undangan telah disebar.”
“Maafkan keterlambatanku menyadari ketulusanmu, Vey.
Tetapi kau masih bisa membatalkannya, Vey, kau masih bisa merubah jalan
hidupmu. Sebelum itu terjadi.”
“Dan menyakiti hati seorang manusia? Itu kejam, Wan.”
“Apa kau rela mengorbankan perasaanmu untuk bersama
dengan orang yang tidak kau cintai, Vey? Apa kau tega membohongi semua orang?”
Kau terdiam, kembali menatapku dalam dengan sisa-sia
air mata yang berjatuhan. Kuraih kedua tanganmu,”Hiduplah bersamaku, Vey. Aku
mencintaimu. Mencintai semua yang ada pada dirimu. Ketulusan dan kemurnian
hatimu yang aku butuhkan untuk menjadi pendampingku, untuk menjadi ibu dari
anak-anakku. Tahun-tahun berikutnya kita akan menyaksikan anak-anak kita tumbuh
besar. Mereka akan memanggil Ayah dan Ibu pada kita. Mereka akan selalu
berbahagia melihat ayah dan ibunya saling mencintai,Vey….”
Dan saat kugenggam tanganmu waktu itu,Vey –jika semesta
alternatif itu benar-benar ada- maka mungkin pada saat itulah pergolakannya
mulai bekerja. Ibarat aliran air yang bergerak ke arah yang berbeda-beda. Menarikku.
Menarikmu. Memainkan kita dalam pusarannya. Lalu pada semesta yang satu ini
kita bertemu dalam keadaan seperti ini, Vey. Di sebuah pusat perbelanjaan.
Sungguh sulit kupercaya bagaimana waktu merubah diri
kita, Vey. Matamu masih sama dengan mata gadis yang meneteskan air mata di
hadapanku dua puluh tahun lalu, namun air wajahmu sepenuhnya telah berubah. Aku
tak mengatakan kau telah jauh bertambah tua, Vey, karena aku pun begitu.
Ditambah lagi kau pun pasti telah melihat perutku yang juga telah sangat
berkembang alias buncit ini. Itukah alasannya kau tersenyum-senyum sejak tadi
sambil sesekali melirik perutku, Vey? Dan rambut kita, telah sama-sama
bertumbuh uban putih rupanya.
Wajahmu kini adalah wajah seorang wanita paruh baya
yang hampir kenyang makan asam garam kehidupan. Wajahmu sangat keibuan dan
ketulusanmu pun tak hilang memancar dari situ. Kalau boleh kukatakan wajah
gadis di sebelahmu itu lebih mirip kau yang dulu.
“Nayala, ini Om Awan, sahabat Mama waktu muda dulu,”
kau tersenyum, bahkan kerutan yang menghiasi bagian bawah bibirmu itu tak
sedikitpun merusak ketulusan senyummu.
“Oh, halo, Om,” putrimu yang bernama Nayala itu pun
meraih tanganku dan mendaratkan keningnya di punggung tanganku.
“Dan ini tentu putramu, begitu mirip ayahnya, ya?”
Kau menoleh pada pemuda tanggung di sebelahku.
“Ya, ini Fino, baru kelas tiga SMP. Hari ini dia
minta ditemani membeli sepatu untuk bermain basket katanya…,” aku tertawa
kecil,”Ayahnya Nayala baik?”
“Baik, tapi sedang di lantai atas, memilih-milih
sarung di stand pakaian. Istrimu baik juga, kan?”
“Ya, sangat baik, terima kasih” jawabku.
Kemudian kita pun saling berpamitan. Kau dan putrimu
akan menyusul suamimu di lantai atas katamu. Aku pun mengangguk mengatakan
bahwa kami akan segera pulang.
“Baiklah, sampai bertemu lagi. Salam buat istrimu
ya, Wan,” kau tersenyum dan begitulah kata-kata terakhirmu sebelum kau dan
putrimu berlalu.
Pernahkah kau membayangkan apa yang akan terjadi
hari ini jika dua puluh tahun lalu kau memutuskan untuk membatalkan pernikahanmu
dan hidup bersamaku, Vey? Mungkinkah saat ini kita sekeluarga sedang berbelanja
bersama dengan putra-putri kita, Vey? Aku tertawa kecil, memang tidak ada
gunanya membayangkan semua itu, Vey. Jikalau semesta alternatif, dunia paralel,
atau apalah itu namanya benar-benar ada, biarlah diri kita yang di dalamnya
saja yang menjalani dan memikirkannya.
Dan untuk di dunia ini cukuplah aku tahu bahwa kau
telah berbahagia dengan keluargamu, seorang suami, dan seorang putri yang
wajahnya setulus wajahmu. Aku pun berbahagia bersama Fino, anak yang kuangkat
dari panti asuhan bersama istriku bertahun-tahun yang lalu sebelum ia
meninggal. Ya, Vey, kami tidak dikaruniai anak, namun kehadiran Fino ini telah
menjadikan hidup kami lebih berarti dari sebelumnya.
Di semesta yang lain, mungkin saja kita bersama Vey. Atau mungkin juga kita tetap tidak bersama. Semua itu adalah misteri. Namun kita memang harus selalu
mensyukuri hidup yang kita miliki, karena Tuhan selalu lebih mengetahui apa
yang terbaik bagi hamba-Nya.
Bagaimana menurutmu, Vey?
(Kubu Raya, 22 Januari 2015, setelah sidang skripsi)
1 komentar:
Wah mantap psotingnya.
Salam
http://alrisblog.wordpress.com
Post a Comment
Silakan berikan komentar Anda mengenai postingan ini, terima kasih :)