(Varla Dhewiyanty)
Tiga belas empat lima
Pepohonan bermandikan
cahaya
Tiga belas empat lima
Angin meniup daun jendela
Tiga belas empat lima
Kupu-kupu mengepakkan
sayapnya
Tiga belas empat lima…
***
Sepuluh empat lima, brownies kukus telah selesai dimasak.
“Harum sekali,”ujar Almira.
Brownies itu ia pindahkan pada piring, lalu diletakkannya
di meja. Almira menutupnya dengan tudung saji.
Almira beranjak ke ruang keluarga dan menyalakan televisi
yang ternyata sedang menayangkan acara gosip. Mata Almira berbinar. Almira pun memutuskan
berbaring di sofa sambil menonton acara kesukaannya itu.
Berita kali ini tentang seorang aktor yang akhirnya
menikahi seorang perempuan yang mengaku telah dihamili olehnya. Oh, Almira pun
pernah mengalami peristiwa yang hampir serupa.
Ia ingat kisahnya bersama Haris bertahun-tahun yang lalu.
Saat itu mereka telah berpacaran dua tahun dan terpaksa harus lekas menikah
karena Almira hamil.
Almira ingat tangisan Mama serta Papa yang tiba-tiba terdiam
laksana batu ketika pertama kali Almira menyampaikan kabar itu.
Almira tak bisa meneruskan kuliahnya, begitu pun dengan
Haris. Mereka sama-sama duduk di semester tiga kala itu. Haris harus segera
mencari pekerjaan untuk menghidupi Almira dan bayinya.
Sembilan bulan yang menyiksa bagi Almira. Mengandung
anugerah yang belum siap diterima olehnya. Terkadang Almira ingin menyalahkan
bayi yang ia kandung. Bayi yang telah merampas kebahagiaan masa muda Almira.
***
Kalaupun Almira pernah membenci bayi itu dan Almira
memang pernah sangat membencinya, maka pada hari ketika bayi itu lahir, Almira
telah memaafkannya.
Maura, nama yang diberikan olehnya dan Haris.
Maura. Pipi Maura menggembung seperti dua buah kue bakpao
panas yang di jual di depan SD-nya dahulu. Hanya saja bakpao yang ini berwarna
kemerahan, serta begitu lembut dan kenyal.
Mata kecil Maura mengerjap-ngerjap seolah berusaha
mengenali Almira. Tangannya menggapai-gapai dengan kaku. Almira menyelipkan
jari telunjuknya di sela telapak tangan Maura. Maura menggenggam jarinya.
Almira terkejut pada genggaman lembut tangan Maura. Ia
masih tak mempercayai bahwa Maura pernah berada di dalam dirinya. Almira
menangis.
***
Haris bekerja di sebuah minimarket. Dulu jabatannya hanya
pramuniaga biasa, sekarang ia telah diangkat menjadi supervisor.
Haris bekerja dari jam delapan pagi hingga jam sembilan
malam. Almira dan Maura setia menantinya di rumah.
Tiga belas nol nol siang itu, Almira sedang menyusui
Maura. Tak lama kemudian, Maura pun terlelap dalam pangkuan Almira.
Almira bertahan meskipun lengannya terasa pegal. Jika ia
meletakkan Maura di saat bayi kecil itu belum benar-benar terlelap, maka Maura
akan terbangun.
Daun jendela tertiup angin semilir. Almira bangkit dari
duduknya dan membawa Maura ke dekat jendela. Di dalam rumah udara terasa begitu
panas.
Maura sedikit menggeliat lalu tertidur kembali. Almira
bertanya-tanya, mungkinkah Maura merasa tergelitik oleh angin yang bertiup? Ia
tersenyum geli.
Dari jendela, Almira dapat melihat pepohonan akasia yang terletak
tepat di samping rumahnya. Almira menengadahkan kepala. Daun-daun akasia tampak
berkilau kekuningan terkena cahaya matahari.
Cepat besar Maura,
dunia yang indah menantimu, bisik Almira.
Almira berpaling sejenak pada jam dinding. Tiga belas
empat lima. Tiga belas empat lima. Masih tujuh jam lima belas menit sebelum Haris
pulang.
Almira mulai bersenandung.
Tiga belas empat lima
Pepohonan bermandikan
cahaya
Tiga belas empat lima
Angin meniup jendela
Tiga belas empat lima
Kupu-kupu mengepakkan
sayapnya
Tiga belas empat lima
Nanda lelap dalam
pangkuan Bunda
***
Gelora itu mulai hadir pada tahun kelima kehidupan
Almira. Ketika Franda, sahabatnya semasa SMA menawarkan sebuah pekerjaan pada
Almira. Pekerjaan sebagai sekretaris.
“Tidak sulit,”kata Franda,”Hanya saja kamu harus
mengikuti kursus terlebih dahulu selama sebulan.”
Gelora itu menggelegak dalam batin Almira. Gelora untuk
berkarya di luar rumah, seperti teman-teman sebayanya.
Gelora itu telah tertunda sekian lama, sejak Maura hadir.
Ketika teman-temannya sedang asyik dengan dunia perkuliahan, lulus, lalu
mencari pekerjaan, Almira sedang sibuk berkutat dengan Maura.
Almira menatap Maura yang telah duduk di taman
kanak-kanak. Maura sedang menggambar bunga dengan lima lembar mahkota.”Satu…,
dua…, tiga…, empat…, lima…,”hitung Maura sambil menggambar.
Mungkin ini saatnya mencari
pengasuh bagi Maura, batin Almira.
***
Dua tahun berikutnya.
Sekumpulan mawar putih bergoyang-goyang tertiup angin.
Maura mendekatinya. Memperhatikan lembar-lembar mahkota bunga mawar yang saling
bertumpang tindih. Bagian tengahnya membentuk pola bergelung yang indah, Maura
menyentuhnya. Terasa lembut sekali.
Almira sedang sibuk berbicara dengan seseorang lewat
telepon genggam. Sejenak ia menghentikan pembicaraan dan memanggil Maura.
“Maura, Maura sayang!”
Maura menoleh. Almira dengan segera mendekatinya.
“Maura, kita pulang ya sayang. Bos Mama sudah memanggil,
Mama harus kembali ke kantor.”
Raut kecewa tergambar di wajah Maura,”Apa hari ini Mama
akan pulang malam lagi?”
Almira mengangguk. Setidaknya ia telah berusaha menjemput
Maura dari sekolah hari ini, lalu menuruti kemauan Maura untuk makan siang
bersama dan berjalan-jalan sejenak di taman setelahnya.
Almira menggandeng tangan Maura. Maura pun mengikutinya.
Maura menatap Almira. Mama
tampak sangat berbeda sekarang, kata Maura dalam hati.
Maura lupa entah sejak kapan ia dan Mama tak lagi
menghabiskan siang dengan bermalas-malasan di depan tv. Setelah menikmati makan
siang lezat buatan Mama tentunya.
Sambil berjalan bersama Mama, Maura menyingkap sedikit
rok sekolahnya. Bercak-bercak bekas cubitan di atas lututnya belum juga hilang.
Mungkin ia tak perlu mengatakannya pada Mama. Bi Surti
bilang ia ingin Maura menjadi anak yang baik dan tidak nakal. Bukankah itu juga yang diinginkan Mama?
***
“Mama…,”panggil Maura. Di kamar, Almira sedang sibuk
dengan laptopnya. Hari ini ia pulang pukul tujuh belas tiga puluh, namun tetap
saja ada pekerjaan kantor yang harus diselesaikannya malam ini juga.
“Mama, tadi di sekolah Bu Guru menghukum Maura….”
“Kok bisa sih. Maura gak ngerjain PR ya. Mama kan sudah
bilang, jangan sampai Maura gak ngerjain PR.”
Almira tak berpaling dari layar laptopnya. Ia tak mau
kehilangan konsentrasi pada angka dan huruf-huruf yang tertera di layar.
“Iya, Mama.... Oh iya Ma, aku mau cerita tadi temanku si
Puput….”
“Maura…,”Almira menekan nada suaranya,”Mama sedang sangat
sibuk sayang. Maura cerita sama Ayah aja ya….”
Maura mengangguk sedih. Ia pun beranjak pergi dan menemui
Haris di ruang keluarga, namun ayahnya itu telah tertidur di sofa sementara
televisi masih menyala.
***
Maura menelungkupkan kepalanya di atas buku berjudul Matematika untuk Kelas 2 SD.
Ia telah berusaha menutup telinga, namun suara Ayah dan Mama
tetap terdengar olehnya.
“Oh, jadi karena sekarang kamu merasa penghasilanmu lebih
tinggi daripada aku, kamu jadi pantas menginjak-injak aku?”
“Siapa suruh pekerjaanmu itu-itu saja? Kamu bisa mencari
pekerjaan lain kalau mau. Memang dasarnya kamu itu lemah!”
Terdengar suara pukulan, lalu teriakan Mama.
“Berani kamu memukulku??!!”
Maura mulai menangis. Ia mendengar mamanya berkata lagi,”Seandainya
segalanya tidak pernah terjadi. Seandainya tidak pernah ada kamu dan Maura
dalam hidupku. Aku pasti sudah menjadi perempuan yang sukses dan berhasil!”
Mama,
bisik Maura. Tiba-tiba ia merasa sendiri dan ketakutan. Sambil menangis Maura
mulai menyenandungkan lagu yang dahulu sering dinyanyikan Almira untuk
menidurkannya.
Tiga belas empat lima
Angin meniup daun
jendela
Tiga belas empat lima
Kupu-kupu mengepakkan
sayapnya
***
Almira menatap ketiga temannya, Franda, Ariyani, dan Uvi
dengan penuh perasaan bahagia. Sudah lama sekali sejak terakhir mereka bertemu.
Siang ini mereka memutuskan untuk makan siang bersama di sebuah kafe.
Almira melirik angka pada layar teleponnya. Tiga belas
lima belas. Ia segera membuka aplikasi pesan dan mulai mengetik pesan untuk
Haris.
Har jam setengah dua
tolong jemput Maura di sekolah, aku masih ada urusan penting.
Ia memang biasa bergantian dengan Haris mengantar jemput
Maura. Kelas Maura masuk pukul sembilan
tiga puluh dan pulang pukul tiga belas tiga puluh. Rumah mereka cukup jauh dari
sekolah Maura. Mereka tidak bisa mengandalkan Bi Surti.
Almira kembali asyik mengobrol dengan teman-temannya. Di
tengah percakapan, Almira mengajak mereka berfoto wefie. Foto itu langsung ia unggah ke social media. Tak lupa ia men-tag
ketiga temannya.
Almira melirik kembali pada angka jam di layar. Tiga
belas empat lima. Tidak ada kabar dari Haris, namun Almira yakin Haris telah
menjemput Maura.
Mereka sudah biasa seperti itu.
***
Dengan tangan mungilnya, Maura mengusap keringat yang
mengalir di dahi. Entah sudah berapa lama ia menunggu, Ayah ataupun Mama belum
datang menjemputnya.
Maura duduk di atas semen di dekat penjual es tebu.
Kebanyakan teman-temannya sudah dijemput sedari tadi, walaupun ada pula yang
belum dijemput seperti dirinya.
Ibu guru Maura sempat menegur sebelum naik ke boncengan
motor suaminya,”Maura belum dijemput?”
“Belum,”jawab Maura.
Ibu guru Maura pun berpamitan pulang lebih dahulu.
Ayah dan Mama kemana
ya,
kata Maura dalam hati.
Seorang lelaki mendekatinya. Lelaki seumuran ayahnya.
Maura tidak memperhatikan ketika lelaki itu mencoba
membaca tanda nama di dadanya.
“Maura?”
“Iya, Om”
“Begini, Mama Maura kecelakaan. Papa Maura sedang
mengurusnya di rumah sakit. Om dimintai tolong untuk menjemput Maura. Kita
sama-sama ke rumah sakit.”
Mama….
Maura terkejut. Lelaki itu mengulurkan tangan dan Maura menyambutnya.
Diikutinya lelaki itu menuju motornya.
Penjual es tebu yang baru saja selesai melayani tiga
orang pembeli melihat ke arah tempat Maura duduk. Sudah kosong. Anak perempuan yang tadi sudah dijemput rupanya, batin penjual es tebu.
***
Almira membuka mata dan melihat ke sekeliling. Rupanya ia
tertidur ketika sedang menonton.
Televisi masih menyala, namun tak lagi menayangkan acara gosip.
Almira melirik pada jam dinding. Jarum pendek berada
diantara angka satu dan dua. Jarum panjang menunjuk angka lima. Dua puluh menit
lagi….
Ia beranjak menuju kamar yang terletak di sebelah kiri
ruang keluarga dan membuka pintunya. Pemandangan khas kamar anak-anak menyambut
Almira.
Dulu, kamar ini adalah kamar Haris, Almira, serta bayi
Maura. Setelah Maura masuk SD, kamar ini dijadikan kamar pribadi Maura. Kamar
di sebelah kanan ruang keluarga menjadi kamar Almira dan Haris.
Almira berjalan mendekati jendela yang terbuka dan
berdiri di sana untuk beberapa saat lamanya. Sesekali ia melirik jam dinding.
Ketika jarum panjang telah menunjuk angka sembilan,
Almira tersenyum. Ia membentuk kedua lengannya seolah-olah dalam posisi
menggendong bayi. Almira menggoyang-goyangkan tubuhnya perlahan seraya
bersenandung.
Tiga belas empat lima
Pepohonan bermandikan
cahaya
Tiga belas empat lima
Angin meniup daun jendela
Tiga belas empat lima
Kupu-kupu mengepakkan
sayapnya
Tiga belas empat lima
Nanda tertidur dalam
pangkuan Bunda
Kemudian Almira mulai menangis.
Hari itu pesannya tidak terbaca oleh Haris. Haris sedang
sibuk melayani keluhan dari pelanggan minimarketnya. Ada kasir yang membuat
kesalahan fatal.
Ketika Haris membaca pesan Almira beberapa jam kemudian,
ia segera menghubungi Almira, namun terlambat. Maura sudah tidak ada lagi di
sekolah dan tidak ada dimana pun.
Almira dan Haris melapor pada polisi, tetapi Maura baru
berhasil ditemukan lima hari kemudian dalam keadaan tidak bernyawa di sebuah
rumah kontrakan. Penculiknya tertangkap. Penculiknya memiliki kelainan suka
menyiksa anak-anak. Selama lima hari Maura disekap dan tidak diberi makan.
Almira terus menangis. Setiap hari pukul tiga belas empat
lima imajinya berkelana ke masa lalu.
Almira berharap suatu hari imajinya tak akan mampu
kembali ke masa kini. Ia berharap imajinya terjebak pada salah satu hari di
masa tujuh tahun yang lalu. Ketika Maura tertidur dalam pangkuannya dan ia
menyenandungkan sebuah lagu untuk Maura.
Ia berharap seandainya sejak saat itu waktu tidak pernah
berjalan lagi. Berhenti pada pukul tiga belas empat lima.
Ia ingin memeluk Maura selamanya.
(Tamat)
*Cerpen ini adalah cerpen ketujuhbelas dalam antologi Kutunggu Kau Jam Sembilan Pagi Kelas Menulis Library Creative Center (LCC) Perpustakaan Kalimantan Barat. Bangga rasanya bisa bersanding dengan cerpen teman-teman sekelas yang keren-keren dalam antologi ini ^_^. Kelas menulis ini dibimbing oleh Bang Pay Jarot Sujarwo. Kenapa judulnya "Kutunggu Kau Jam Sembilan Pagi"? Karena kelas kami dimulai pukul sembilan setiap hari Minggu pagi, heheee :D Meskipun kelas ini telah selesai, namun silaturahim kami masih tetap terjaga. Saya masih sering berkomunikasi terutama dengan Laurika, Ning, Selvia, Bu Sukarni, dan Bang Pay tentu saja. Senang sekali setelah mengikuti kelas ini, saya jadi mendapat ilmu baru dan juga teman-teman baru pastinya..., yeyeyyyy!^^
0 komentar:
Post a Comment
Silakan berikan komentar Anda mengenai postingan ini, terima kasih :)